Saya Terbakar Amarah Sendirian
Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira
Andre Vltchek dan Rossie Indira
KPG
Cetakan Pertama, Januari 2006
Bahasa
131 halaman
Soft Cover
Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira
Andre Vltchek dan Rossie Indira
KPG
Cetakan Pertama, Januari 2006
Bahasa
131 halaman
Soft Cover
‘Jawanisme adalah taat dan setiap kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme. Kita namakan fasisme jawa saja ya, dan sistem ini tumbuh dan berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto’
‘Bukan, saya bukan Marxis, tapi “Pramis” (tertawa). Saya tidak pernah menganut suatu ajaran apapun, saya hanya mengikuti ajaran saya sendiri. Belajar dari pengalaman hidup sendiri. Tapi saya percaya pada keadilan dan kesetaraan sosial’
Pramis! Sungguh suatu ajaran yang tidak biasa, kontroversial untuk pemikiran saya. Ketidaksukaan Pram akan jawanisme-walau Pram orang jawa-budaya yang menganut paham ‘apa kata’ atasan. Indonesia yang tidak memiliki budaya tradisional. Dan kekecewaannya terhadap tuhan membuat Pram tidak percaya lagi akan Tuhan, penderitaannya selama menjadi tapol. Semua tertuang dengan gamblang, lugas, tanpa tedeng aling-aling oleh bung Pram sendiri di buku ini.
‘kebudayaan Indonesia yang kaya? Omong kosong, saya tidak setuju! Kebudayaan Indonesia sangatlah miskin. Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir’
‘menurut saya, agama hanya mengajarkan orang untuk mengemis, karena berdoa kan sama saja dengan mengemis, tapi mungkin akan banyak orang yang tersinggung dengan pandangan saya ini’
Ditulis oleh Andre Vltchek, orang Amerika, penulis, analis politik dan pembuat film asal amerika, dan Rossie Indira, seorang arsitek yang juga seorang penulis di harian The Jakarta Post dan Gatra.
Buku ini hampir menguak semua misteri yang terjadi di tahun 1965 dan menjawab semua pertanyaan yang ada dipikiran saya tentang kisah penulis terbesar Indonesia, Bung Pram, tetapi juga sekaligus menimbulkan pertanyaan baru yang ingin saya tanyakan pada beliau, hanya sayang...banyak sayang...
‘ sampai sekarang, setiap malam mimpi saya buruk terus. Saya akan sangat senang kalau semalam saja tidak mimpi buruk. Mimpi buruk ini bisa dalam berbagai bentuk. Kadang saya sedang diuber-uber militer, kadang saya sedang dianiaya. Bentuk mimpi yang tidak terlalu buruk adalah dalam bentuk kerja paksa. Tapi semua ini tidak pernah hilang’
Sungguh memilukan kisahnya, pantas saja Bung Pram memiliki hobi membakar sampah setiap paginya. Buku ini membuka satu lagi mata hati saya.
‘tapi kalau saya berpikir tentang Indonesia, saya merasa kebakaran sendiri, dan hal ini tidak pernah hilang’
0 comments:
Post a Comment